BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masa remaja merupakan masa yang rentan dengan
berbagai permasalahannya. Dalam masa ini, remaja memiliki kebebasan dalam
bergaul dengan siapapun. Namun kebebasan bergaul yang dimiliki setiap remaja
harus disertai dengan kontrol diri, serta kemampuan filterisasi yang tepat
terhadap lingkungan, agar permasalahan di usia remaja bisa diminimalisir. Masa
remaja yang merupakan masa topan badai yang penuh gejolak akibat pertentangan
nilai-nilai. Dengan kebebasan bergaul yang dimiliki maka terkadang remaja
menjadi bebas untuk melakukan segala sesuatu, tanpa memperhatikan nasihat atau
ucapan dari orang-orang terdekatnya. Remaja yang bersosialisasi dengan teman-temannya
yang nakal akan terkait dengan kenakalan yang ada di dalamnya (Leve, 2005).
Salah satu permasalahan yang sering kali muncul adalah masalah kenakalan remaja
(juvenile delinquency). Remaja pada
dasarnya bertugas untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, namun kenyataannya
banyak remaja yang melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya mereka lakukan.
Dalam Russell (2001) menyebutkan bahwa potensi kenakalan dan kejahatan dimulai
pada masa remaja.
Semakin maju peradaban manusia saat ini menjadi
peluang besar untuk semakin maraknya kenakalan yang dilakukan oleh para remaja.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kurangnya pengawasan dari orang
tua, lemahnya aturan dan norma yang ada di lingkungan masyarakat, serta semakin
menurunnya kepedulian antar sesama manusia diduga menjadi faktor semakin
bertambahnya kenakalan remaja di era globalisasi saat ini. Pendidikan di
sekolah seakan tak mampu untuk mengurangi kenakalan remaja yang terjadi di era
globalisasi ini. Hal ini tentu tidak sesuai dengan Undang-Undang No.20 Tahun
2003 yang menyebutkan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut Minddendorff (1960) dalam Kartini Kartono,
laporan “United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders” yang bertemu di London pada 1960 menyatakan adanya kenaikan
jumlah kejahatan anak remaja dalam kualitas kejahatan, dan peningkatan dalam
kegarangan serta kebengisannya yang lebih banyak dilakukan dalam aksi-aksi
kelompok daripada tindak kejahatan individual.
Dalam salah satu situs berita online menyebutkan
bahwa kasus kenakalan remaja meningkat hingga 36,66%. Dalam situs berita online
tersebut, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Putut Eko Bayuseno
mengatakan sepanjang tahun 2012 sebanyak 11 kasus yang menonjol yang terjadi di
wilayah hukum Polda Metro Jaya ada enam kasus yang mengalami peningkatan. Salah
satunya adalah kasus kenakalan remaja, yaitu tahun 2011 sebanyak 30 kasus dan
tahun 2012 naik sebanyak 41 kasus. Situs berita yang lain juga menerangkan
bahwa menurut Komisi Perlindungan Anak mencatat enam bulan pertama tahun 2012
tercatat sudah ada 139 kasus dengan menewaskan 12 pelajar (lensaindonesia.com,27 Desember 2012).
Ada berbagai macam wujud kenakalan remaja, mulai
dari membolos, kebut-kebutan, perkelahian antargang, mabuk-mabukan, perkosaan,
kecanduan obat-obatan terlarang, dll. Salah satu bentuk kenakalan remaja yang
marak terjadi saat ini adalah penggunaan obat-obatan terlarang seperti narkoba
dan narkotika. Penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN)
menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan
pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian
yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta. Di antara jumlah
itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan sisanya sekadar coba-coba dan pemakai.
Dari data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus penyalahgunaan narkoba terus
meningkat di kalangan remaja. Dari 2,21% (4 juta orang) pada tahun 2010 menjadi
2,8 (sekitar 5 juta orang) pada tahun 2011.
Selain penggunaan obat-obatan terlarang, kenakalan
remaja juga berkaitan dengan perilaku seks bebas, pornografi, dan pornoaksi. Zoy
Amirin pakar psikologi seksual dari Universitas Indonesia, mengutip Sexual
Behavior Survey 2011, menunjukkan 64 persen anak muda di kota-kota besar
Indonesia ‘belajar’ seks melalui film porno atau DVD bajakan. Akibatnya, 39
persen responden ABG usia 15-19 tahun sudah pernah berhubungan seksual, sisanya
61 persen berusia 20-25 tahun. Survei yang didukung pabrik kondom Fiesta
itu mewawancari 663 responden berusia 15-25 tahun tentang perilaku seksnya di
Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali pada bulan Mei 2011.
Gerakan moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya
peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak
dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 jenis video
porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut
melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas
adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya
berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan
yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta. (Okezone.com, 28/3/2012).
Berawal dari kenakalan remaja dalam melakukan seks
bebas yang berakibat pada kehamilan yang tak diinginkan, maka bisa berujung
pada peristiwa aborsi. Survei yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000), di
Indonesia terjadi 2,4
juta kasus aborsi pertahun dan sekitar 21% (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja.
Data yang sama juga disampaikan Komisi Nasional Perlindungan Anak
tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar, sebanyak
62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan, dan 21,2 persen remaja mengaku
pernah aborsi (Kompas.com, 14/03/12).
Kenakalan remaja berikutnya adalah tawuran
antarpelajar, antargang atau antarkelompok, serta bolos saat jam sekolah
berlangsung. Data dari Komnas Perlindungan Anak, jumlah tawuran pelajar sudah
memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni,
sudah terjadi 139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus
menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak
meninggal dunia (Vivanews.com, 28/09/12). Selanjutnya, Pemkot
Surabaya menggelar penertiban pelajar bolos di warung internet (warnet) yang
tersebar di seluruh wilayah Surabaya, Selasa (26/3/2013). Razia pelajar bolos
ini dilakukan serentak sejak pukul 9 pagi hingga 12 siang dengan melibatkan
seluruh personil Satpol PP di tingkat kecamatan. Hasilnya, sebanyak 930 siswa
SD, SMP dan SMA terjaring razia pada saat jam sekolah. Diantaranya bermain di
warnet yang sediakan situs porno (suaranews.com,
26 Maret 2013).
Di Amerika Serikat yang merupakan negara maju yang memiliki tingkat
kenakalan remaja cukup besar. Terdapat banyak gadis remaja yang terjerat
masalah hukum dan peradilan anak selama dekade terakhir yang meningkat secara
signifikan (Ruffolo, 2004). Hal ini mengisyaratkan bahwa kenakalan remaja tidak
hanya dilakukan oleh remaja laki-laki namun juga remaja perempuan. Berbagai usaha
telah dilakukan oleh pemerintah, pendidik, maupun orang tua seakan tak mampu
mengurangi kenakalan remaja yang semakin merajalela di kalangan pelajar,
khususnya pelajar Sekolah Menengah Atas.
Salah satu sekolah yang ada di kabupaten Mojokerto yang sekaligus menjadi
subjek penelitian ini yaitu SMAN 1 Mojosari. Berdasarkan hasil wawancara kepada
salah satu konselor sekolah pada 10 Mei 2013 menyatakan bahwa dari tahun ke
tahun jumlah kenakalan remaja di SMA semakin meningkat. Guru BK selalu berusaha
untuk mengurangi kenakalan remaja yang ada, namun karena perkembangan zaman
usaha tersebut seakan sia-sia. Letak geografis sekolah yang berada di wilayah
kota Mojosari kabupaten Mojokerto, yang dekat dengan berbagai tempat umum
seperti pasar, terminal, pertokoan, warung internet (warnet), tempat makan, dan
lain-lain. Hal ini menjadikan siswa-siswi SMAN 1 Mojosari mudah melakukan
tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan yaitu kenakalan remaja. Salah satu
kasus kenakalan remaja yang pernah terjadi di SMAN 1 Mojosari ialah kasus siswi
yang hamil di luar nikah sekitar tahun 2009.
Berbagai hal yang diungkapkan di atas, mulai dari kasus-kasus kenakalan
remaja di Indonesia maupun di luar negeri, serta yang terjadi di SMAN 1
Mojosari, melatarbelakangi peneliti untuk mengangkat judul penelitian “Studi
Tentang Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Mojosari Kabupaten Mojokerto”.
B.
Fokus
Penelitian
Berpijak dari latar belakang pemilihan judul di atas, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana gambaran kenakalan remaja di SMAN 1 Mojosari
Kabupaten Mojokerto?
2.
Faktor apa sajakah yang mempengaruhi kenakalan remaja
di SMAN 1 Mojosari Kabupaten Mojokerto?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan merupakan target yang hendak dicapai dalam melakukan suatu kegiatan.
Berdasarkan fokus penelitian diatas maka tujuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui gambaran secara umum bentuk kenakalan
remaja di SMAN 1 Mojosari Kabupaten Mojokerto.
2.
Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi
kenakalan remaja di SMAN 1 Mojosari Kbupaten Mojokerto.
D.
Manfaat
Penelitian
Pembahasan penelitian yang berjudul “Studi Tentang Kenakalan Remaja Di SMAN
1 Mojosari Kabupaten Mojokerto”, diharapkan bisa memberikan manfaat baik
teoritis maupun praktis.
1.
Manfaat teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi dan
bimbingan konseling, khususnya kajian mengenai studi kenakalan remaja di SMAN.
2.
Manfaat praktis
a.
Bagi siswa
Penelitian
ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi siswa, khususnya siswa SMAN 1
Mojosari tentang gambaran secara umum kenakalan remaja yang ada di SMA.
b.
Bagi konselor
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber acuan guru bimbingan konseling
sekolah dalam menangani masalah kenakalan remaja di SMAN 1 Mojosari.
c.
Bagi peneliti
Penelitian
ini bisa memberikan tambahan pengalaman dan wawasan kepada peneliti tentang
kenakalan remaja di SMA.
d.
Bagi peneliti lain
Hasil
penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber acuan bagi penelitian lain yang
sejenis.
E.
Definisi
Operasional, Asumsi, dan Keterbatasan
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menafsirkan judul
penelitian, maka peneliti memberikan definisi, asumsi dan keterbatasan tentang
judul penelitian sebagai berikut:
a.
Definisi Operasional
Adapun
definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Definisi SMAN
Sekolah
Menengah Atas Negeri atau SMAN merupakan jenjang sekolah menengah yang lebih
mengarahkan anak untuk pendidikan sekolah tinggi daripada bidang pekerjaan
tertentu di bawah naungan pemerintah.
2.
Definisi kenakalan remaja
Kenakalan
remaja didefinisikan sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh remaja
yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dilingkungan masyarakatnya,
yang bisa merugikan tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga orang lain.
b.
Asumsi
Asumsi
merupakan anggapan dasar yang diyakini kebenarannya yang tidak perlu diuji lagi
dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa:
1.
Kenakalan remaja merupakan suatu tindakan yang
melanggar norma danaturan yang berlaku di masyarakat.
2.
Setiap remaja pernah melakukan kenakalan remaja yang
berbeda-beda.
3.
Setiap remaja memiliki faktor penyebab yang
berbeda-beda dalam melakukan kenakalan remaja.
c.
Keterbatasan
Untuk
menghindari kesalahpahaman dan agar tercapai pengertian yang sama, maka
penelitian ini terbatas pada masalah sebagai berikut:
1.
Penelitian ini hanya dilakukan pada siswa SMAN 1
Mojosari Kabupaten Mojokerto.
2.
Penelitian ini terbatas hanyuntuk mengetahui gambaran
secara umum kenekalan remaja yang terjadi di SMAN 1 Mojosari.
3.
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi.
4.
Hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan
untuk sekolah lain, namun bisa digunakan sebagai tambahan wawasan bagi sekolah
lain, dan acuan bagi penelitian mendatang yang sejenis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
SMAN
1.
Pengertian
SMAN
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2004, jenjang pendidikan formal terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah
itu sendiri terdiri dari SMA dan MA, serta SMK dan MAK. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), SMA adalah sekolah umum selepas sekolah menengah
pertama sebelum perguruan tinggi. Dalam buku pengantar pendidikan (Umar, 2005:
265), mendefinisikan pendidikan menengah yang lamanya tiga tahun sesudah
sekolah dasar, diselenggarakan di SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau
satuan pendidikan yang sederajat.
Melihat definisi sekolah umum (Hasbullah, 2005:52) adalah sekolah yang
belum mempersiapkan anak dalam spesialisasi pada bidang pekerjaan tertentu.
Sekolah ini lebih menekankan pada persiapan pendidikan lanjut. Di dalamnya
termasuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA. Selain itu dalam buku Dasar-dasar ilmu
pendidikan (Hasbullah, 2005:52) menyebutkan bahwa sekolah negeri adalah sekolah
yang diusahakan oleh pemerintah, baik dari segi pengadaan fasilitas, keuangan,
maupun pengadaan tenaga pengajar. Menurut Yulistia (2012) pendidikan Menengah Umum mengutamakan
penyiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Sekolah Menengah Atas Negeri
atau SMAN merupakan jenjang sekolah menengah yang lebih mengarahkan anak untuk
pendidikan sekolah tinggi daripada bidang pekerjaan tertentu di bawah naungan
pemerintah.
B.
Kenakalan
1.
Pengertian
kenakalan
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008:1244), nakal artinya suka berbuat kurang
baik,(tidak menurut, mengganggu, dsb, terutama bagi anak-anak). Nakal juga
diartikan sebagai buruk kelakuan. Sedangkan kenakalan itu sendiri didefinisikan
sebagai sifat nakal, perbuatan nakal, tingkah laku secara ringan yang menyalahi
norma yang berlaku di suatu masyarakat.
Selanjutnya
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2001:930), nakal diartikan sebagai buruk laku,
suka mengganggu perempuan yang bukan istri, suka bermain dengan laki-laki,
melacur tentang perempuan. Sedangkan kenakalan diartikan sebagai hal atau
keadaan nakal.
Dari beberapa definisi diatas maka
bisa disimpulkan bahwa kenakalan adalah perilaku yang tidak baik yang melanggar
norma dan aturan di masyarakat.
C.
Remaja
1.
Pengertian
remaja
Hurlock
(1980:206) istilah adolescence atau
remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa”. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1980:206) mengatakan bahwa
secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
msyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat
orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesi (2008:1160), remaja adalah mulai dewasa, sudah sampai
umur untuk kawin, muda, pemuda. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2001:1152),
remaja dikatakan kepada anak wanita yang mulai haid dan anak laki-laki yang
sudah akil balig, dewasa.
Muangman
(1980:9) dalam Sarwono (2012:12), berpendapat bahwa remaja adalah suatu masa
dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa,
terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan
yang relatif lebih mandiri. Hall dalam Sarwono (2012:29) masa remaja yang
merupakan masa topan badai (Strum und
drang), yaitu mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat
pertentangan nilai-nilai.
Sebenarnya
istilah “remaja” dalam hukum di Indonesia tidak ada, yang ada hanyalah
anak-anak dan dewasa. Masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat
peralihan dan tidak mantap. Di samping itu, masa remaja adalah masa yang rawan
oleh pengaruh-pengaruh negatif, seperti narkoba, criminal, dan kejahatan seks
(Willis, 2010:1).
Ada beberapa
Undang-Undang lain yang masih belum memasukkan istilah remaja di dalamnya
seperti UU tentang Lalu Lintas, UU tentan Pemilu, UU tentang Kesejahteraan
Anak, dan UU tentang Perkawinan, namun meskipun demikian WHO pada tahun 1974
(Sarwono, 2012:12) mendefinisikan remaja sebagai berikut:
1.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia
menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual.
2.
Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi
yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Dari beberapa definisi remaja diatas maka bisa
disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berada pada masa transisi atau
peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang mengalami perkembangan baik fisik,
kognisi, psikologis, maupun sosial.
2.
Rentang usia
remaja
Pasal 330
KUHP memberikan batas usia 21 tahun (kurang dari itu asalkan sudah menikah)
untuk menyatakan kedewasaan seseorang. Di bawah usia tersebut seseorang masih
membutuhkan wali (orang tua) untuk melakukan tindakan hukum perdata. Selain
itu, hukum pidana juga member batasan usia 16 tahun sebagai usia dewasa (Pasal
45,47 KUHP). Anak-anak yang berusia kurang dari 16 tahun masih masih menjadi
tanggung jawab orang tuanya kalau ia melanggar hukum pidana. Tingkah laku
mereka yang melanggar hukum belum disebut “kejahatan” melainkan hanya disebut sebagai
“kenakalan” (Sarwono,2012).
Menurut
Hurlock (2012:206), awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13-16 tahun
atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai
18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa remaja
merupakan periode yang sangat singkat.
Sarwono (2012:18) megungkapkan bahwa meskipun definisi remaja sulit
untuk didefinisikan namun sebagai pedoman umum kita dapat menggunakan batasan
usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan
sebagai berikut.
1.
Usia 11 tahun adalah usia ketika pada umumnya
tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (criteria fisik).
2.
Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun dianggap
akil balig, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi
memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
3.
Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan
perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut
Eric Ericson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (Freud),
dan tercapainya puncak perkembnagn kognitif (Piaget) maupun moral (Kolberg)
(criteria psikologis).
4.
Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu
untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih
menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang
dewasa (secara adat/ tradisi), belum bisa memberikan pendapat sendiri dan
sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun
belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis,
masih dapat digolongkan remaja.
5.
Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat
menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita pada
umumnya. Seorang yang sudah menikah dianggap sebagai orang dewasa penuh. Oleh
karena itu definisi remaja dibatasi khusus untuk yang belum menikah.
World Health
Organization atau WHO membagi kurun usia remaja dalam dua bagian, yaitu remaja
awal (10-14 tahun) dan remaja akhir (15-20 tahun). Rentang usia remaja ditandai
dengan adanya masa pubertas yang berbeda-beda, mulai dari usia 11-16 tahun
(Hurlock, 2012:185).
Selanjutnya
menurut Stanley Hall (dalam Willis, 2010:23) menyebutkan bahwa usia remaja
berkisar dari umur 15 tahun sampai 23 tahun. Menurut DR. Zakiah Daradjat (dalam
Willis, 2010:23) masa remaja lebih kurang antara 13-25 tahun. Terakhir menurut
Arthur T.Jersild dalam bukunya “Child Psichology” 1978 (dalam Willis, 2010:23),
remaja berada pada usia 15-18 tahun.
Dari
berbagai definisi diatas memang beberapa ahli menyebutkan rentang usia yang
berbeda-beda. Namun dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa rentang usia remaja adalah mulai dari 10-25 tahun.
3.
Ciri-ciri
masa remaja atau pubertas
Dalam masa
remaja dorongan seksual lebih menonjol dan Nampak dalam kelakuan-kelakuan
remaja terhadap lawan jenisnya. Dalam Willis (2010:20), sehubungan dengan
masalah seksual ini, ada beberapa ciri utama dari masa remaja atau pubertas ini
yaitu:
a.
Ciri primer
Ciri primer
yaitu matangnya organ seksual yang ditandai dengan adanya menstruasi (menarche) pertama pada wanita dan
produksi cairan sperma pertama (nocturnal
seminal emission) pada laki-laki. Yang dimaksud dengan peristiwa menarche ialah terjadinya pendarahan
atau haid pertama pada alat kelamin wanita. Hal ini disebabkan karena kelenjar
wanita (ovarium) mulai berfungsi
yaitu memaskkan sel telur (ovarium).
Peristiwa ini dinimai ovulasi. Bila
sel telur (ovum) yang masak itu
dislurkan ke saluran telur kemudian tidak dibuahi maka ia akan keluar bersama
darah, yang berasal dari permukaan rahim.
Menurut ilmu
kedokteran telur yang sednag masak itu menghasilkan suatu zat hormon bernama estrogen (zat betina) yang merubah anak
perumpuan baik secara jasmani maupun rohani. Sedangkan pada anak laki-laki
produksi cairan sperma pertama menyebabkan terjadinya ereksi alat kelamin (alat
kelamin menjadi tegang), yang kemudian diikuti oleh keluarnya air mani dalam
mimpi, dan peristiwa ini disebut mimpi basah. Berfungsinya kelenjar kelamin (testis) menyebabkan timbulnya nafsu
syahwat (dorongan seks).
b.
Ciri sekunder
Ciri
sekunder ini meliputi perubahan pada bentuk tubuh pada kesua jenis kelamin.
Anak wanita mulai tumbuh buah dada (payudara), pinggul membesar, paha membesar
karena tumpukan zat lemak, dan tumbuh bulu pada alat kelamin dan ketiak.
Pada anak
laki-laki terjadi perubahan otot, bahu melebar, suara mulai berubah, tumbuh
bulu pada alat kelamin dan ketiak, serta kumis pada bibir. Disamping itu
terdapat pula pertambahan berat badan pada kedua jenis kelamin.
c.
Ciri tersier
Ciri
terakhir yaitu ciri tersier dimana tampak pada perubahan tingkah laku.
Perubahan itu erat dengan perubahan psikis, seperti purubahan minat, antara
lain minat belajar berkurang, timbul minat dengan lawan jenis, dan minat
terhadap kerja menurun. Anak perempuan mulai memperhatikan dirinya.
Perubahan
lain juga tampak dalam emosi, pandangan hidup, sikap, dan sebagainya. Karena
perubahan tingkah laku inilah maka jiwanya selalu gelisah, dan seringkali
konflik dengan orang tua karena adanya perbedaan sikap dan pandangan hidup.
Terkadang juga bertentangan dengan lingkungan masyarakat karena adanya
perbedaan norma yang dianutnya dalam lingkungan. Jika konflik dengan keluarga
maupun masyarakat tidak terselesaikan, maka remaja akan stress. Akibat stress
yang berkepanjangan dan tak terpecahkan maka remaja tersebut akan menghindar
dari keluarga dan mencari teman sebaya yang senasip dengannya di luar rumah.
Hal ini menjadi pemicu kenakalan remaja.
4.
Tugas
perkembangan remaja
Menurut
Havighurst (1961) dalam Willis (2010), dalam periode perkembangan remaja
memiliki tugas-tugas yaitu:
a.
Memperoleh sejumlah norma dan nilai
b.
Belajar memiliki peranan sosial sesuai dengan jenis
kelamin masing-masing
c.
Menerima kenyatan jasmaniah serta dapat menggunakannya
secara efektif dan merasa puas terhadap keadaan tersebut
d.
Mencapai kebebasan dari kebergantungan terhadap orang
tua dan orang dewasa lainnya
e.
Mencapai kebebasan ekonomi
f.
Mempersiapkan diri untuk menentukan suatu pekerjaan
yang sesuai dengan bakat dan kesanggupannya
g.
Memperoleh informasi tentang perkawinan dan
mempersiapkannya
h.
Mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep
tentang kehidupan bermasyarakat
i.
Memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial
yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat
5.
Perkembangan
pada Remaja
a.
Perkembangan fisik
Masa remaja
adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian
psikologis tetapi juga fisik. Muss (1968) dalam Sarwono (2012:62) membuat
urutan perubahan-perubahan fisik berikut :
a.
Pada anak perempuan :
1. Pertumbuhan
tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang).
2. Pertumbuhan
payudara.
3. Tumbuh
bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan.
4. Mencapai
pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya.
5. Haid.
6. Tumbuh
bulu-bulu ketiak.
b.
Pada anak laki-laki :
1. Pertumbuhan
tulang-tulang.
2. Testis
membesar.
3. Awal
perubahan suara.
4. Ejakulasi
(keluarnya air mani).
5. Pertumbuhan
tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya.
6. Tumbuh
rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot).
7. Tumbuh
bulu ketiak.
8. Akhir
perubahan suara.
9. Rambut-rambut
diwajah bertambah tebal dan gelap.
10. Tumbuh
bulu di dada.
Masih menurut
Muss (1968) dalam Sarwono (2012:63), dikatakan bahwa hormon genadotropic mulai positif (ada) dalam air seni. Hormon
inilah yang bertanggung jawab sebagian pada pertumbuhan tanda-tanda seksual dan
bertanggung jawab penuh dalam produksi sel-telur dan spermatozoa.
b.
Perkembangan Psikologis
Ada banyak hal yang berpengaruh pada perkembangan
psikologis remaja, diantaranya adalah pembentukan konsep diri, perkembangan
intelengensi, perkembangan emosi, dan perkembangan moral.
1.
Pembentukan konsep diri
Remaja adalah
masa transisi dari periode anak ke dewasa. Menurut G.W Allport (Sarwono,
2012:81) ciri-ciri psikologis itu adalah:
a. Pemekaran
diri sendiri, yang menganggap orang lain adalah bagian dari dirinya sendiri.
b. Kemampuan
melihat diri sendiri secara objektif.
c. Memiliki
falsafah hidup tertentu.
Sarwono
(2012:86) menjelaskan bahwa proses perubahan karena pengalaman dan usia
merupakan hal yang harus terjai karena dalam proses kematangan kepribadiannya,
remaja sedikit demi sedikit memunculkan sifatnya yang asli, yang bisa
berbenturan dengan rangsangan dari luar. Menurut Richmond dan Sklansky (1984)
(Sarwono, 2012:86) inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja
awal dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan.
c.
Perkembangan intelegensi
Intelegensi itu
sediri didefinisikan oleh David Wechler (Sarwono, 2012:89) sebagai keseluruhan
kemamapuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah
dan menguasai lingkungan seara efektif. Ukuran intelegensi dinyatakan dalam IQ
(Intellegence Quotient). Setiap orang
memiliki tingkat kecerdasan atau intelegensi yang berbeda-beda. Cabang kekuatan
kecerdasannyapun tidak sama, ada yang ahli di bidan ruang namun lemah dalam
bahasa, ada yang pandai dalam bahasa namun sulit dalam menghitung, dan
seterusnya.
d.
Perkembangan peran sosial
Remaja
seringkali ingin berperan sebagai orang yang dewasa, namun orang tua
merekatidak memberika kesempatan itu kepada mereka. Akibatnya perkembangan
peran sosial mereka terganggu. Ada juga orang tua yang terbuka dengan
anakremaja mereka dan mulai memberikan kebebaan peran kepada remajanya, namun
justru remaja mereka yang belum bisa lepas dari tanggung jawab orang tua.
Remaja yang tidak mampu lepas dari orang tua dan merasa selalu membutuhkan
orang tua mereka, memiliki perkembangan peran sosial yang belum berkembang
secara sempurna.
e.
Perkembangan peran gender
Peran gender
juga berhubungan dengan peran sosial. Perkembangan remaja yang baik harus
disertai degan perkembangan peran gender yang sesuai pula. laki-laki harus
berperan sebagai laki-laki, seorang pemimpin dalam sebuah keluarga. Wanita
harus menjalankan perannya sebagai seorang wanita yang memiliki sifat
feminimisme. Namun di zaman sekarang ini tidak jarang peran gender ini tertukar
antara laki-laki dengan perempuan. Banyak laki-laki yang memiliki sifat
feminimisme, dan banyak pula perempuan yang memiliki sifat maskulin. Pergeseran
perkembangan peran gender yang terbalik inilah yang harus diperbaiki.
f.
Perkembangan moral
Moral merupakan bagian yang tidak kalah penting
dalam perkembangan remaja. Untuk remaja, mores
atau moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri karena mereka sedang dalam
keadaaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya
sendiri. Pedoman atau petunjuk ini dibutuhkan juga untuk menumbuhkan identitas
dirinya, menuju kepribadian matang dengan unifying
philosophy of life dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang
selalu terjadi dalam masa transisi ini (Sarwono, 2012:111).
Dalam teori perkembangan moral Kohlberg, remaja
berada dalam tahap konvensional, dimana pada usia remaja (12-20 tahun) tingkah
laku moral ditujukan untuk mempertahankan norma-norma tertentu. Remaja yang
taat pada agama merasa perlu hidup dengan berpedoman pada agama. Di lain pihak,
ia mungkin memilih norma-norma di kelompoknya karena norma itulah yang berlaku
di lingkungannya dan ia mengikuti norma-norma itu sebagai ukuran.
6.
Perubahan-perubahan
selama masa remaja
Hurlock
(1980:210) menerangkan beberapa perubahan-perubahan di usia remaja antara lain
perumbahan fisik, perubahan sosial, perubahan moral, perubahan kepribadian.
a.
Perubahan fisik
Perubahan
tubuh selama masa remaja terbagi menjadi dua yaitu perubahan eksternal dan
perubahan internal. Perubahan eksternal terdiri dari perubahan tinggi badan,
berat badan, proporsi tubuh, organ seks, dan ciri-ciri seks sekunder. Sedangkan
perubahan internal antara lain perubahan system pencernaan, system peredaran
darah, sistem pernafasan, sistem endokrin, dan jaringan tubuh.
b.
Perubahan sosial
Salah satu
tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan
penyesuaian sosial. Remaja perlu menyesuaikan diri dengan lingkunganya yang
selalu berubah-ubah. Remaja yang awalnya lebih senang berteman dengan teman
sesama jenis akan berubah lebih menyukai berteman dengan lawan jenis. Remaja
akan membuat kelompok-kelompok sosial baru, memiliki nilai-nilai baru dalam
memilih teman, serta mengalami perubahan-perubahan terhadap minatnya.
c.
Perubahan moral
Selama masa
remaja terdapat perubahan moral yang paling fundamental yaitu pandangan moral
individu makin lama makin menjadi lebih abstrak dan kurang konkrit. Keyakinan
moral remaja lebih terpusat pada apa yang benar, dan keadilan yang muncul
sebagai kekuatan moral yang dominan. Penilaian moral menjadi semakin kognitif,
penilaian moral menjadi kurang egosentris, dan remaja lebih menganggap
penilaian moral lebih bersifat emosi dan bisa memunculkan ketegangan
psikologis.
d.
Perubahan kepribadian
Banyak
remaja yang menggunakan standar kelompok dalam membentuk kepribadian mereka.
Hal ini membuat kepribadian remaja sesuai dengan apa yang dilakukan oleh
kelompoknya.
D. Kenakalan Remaja
1.
Pengertian
kenakalan remaja
Kenakalan
remaja banyak didefinisikan oleh beberapa ahli. Salah satunya adalah menurut
Kartini Kartono (2011:6), juvenile
berasal dari bahasa Latin juvenilis
yang artinya anak-anak, anak muda, remaja. Delinquent
berasal dari bahasa Latin delinquere
yang artinya terabaikan, jahat,
criminal, pelanggaran hukum, pengacau, durjana, dursila. Juvenile delinquency ialah perilau jahat
(dursial), atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu
bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka melakukan tingkah laku yang
menyimpang.
Cavan
(Willis, 2010:88) menyebutkan bahwa kenakalan remaja disebabkan karena
kegagalan mereka dalam memperoleh penghargaan dari masyarakat tempat mereka
tinggal. Penghargaan itu beruppa tugas dan tanggung jawab seperti orang dewasa.
Remaja menuntut peranan orang dewasa, namun orang dewasa tidak memberikan
tanggung jawab dan peranan tersebut kepada mereka. Berikutnya Dr. Kusumanto
(Willis, 2010:89), kenakalan remaja ialah tingkah laku individu yang
bertentangan dengan syarat-syarat yang dianggap baik dalam suatu lingkungan
atau hukum di masyarakat tertentu. Kenakalan remaja juga
diartikan suatu perbuatan kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh
remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, menyalahi
norma-norma dan aturan yang berlaku di lingkungan tersebut (Yudhin, 2009).
Dari
beberapa definisi di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa kenakalan
remaja didefinisikan sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh remaja
yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dilingkungan masyarakatnya,
yang bisa merugikan tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga orang lain.
2.
Ciri
Kenakalan Remaja
Anak-anak
delinkuen tentu saja mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan anak-anak
non-delinkuen (Kartono, 2011:17), yaitu mereka berbeda dalam:
a.
Strukutur Intelektualnya
Dari segi
intelegensi mereka tidak berbeda dengan anak pada umumnya, namun ada fungsi
kognitif lain yang berbeda. Anak-anak delinkuen kurang tolerang terhadap hal-hal
yang ambigu, dan tidak menghargai orang lain.
b.
Konstitusi fisik dan psikis
Anak-anak
delinkuen lebih “idiot secara moral”. Bentuk tubuh mereka lebih “mesomorphs”
yaitu lebih berotot, kekar. Kuat (60%), dan lebih agresif (Lombroso, 1899).
Pendapat lain yaitu Linder (1942) mengatakan bahwa anak-anak delinkuen memiliki
fungsi fisiologis dan neurologis yang khas seperti kurang mampu mereaksi
terhadap stimuli sakit, lebih kebal.
c.
Ciri karakteristik individual
Anak-anak
delinkuen mempunyai sifat keprbadian yang menyimpang, seperti:
1.
Berorientasi pada masa sekarang, lebih memilih
bersenang-senang dan memuaskan diri pada hari ini.
2.
Terganggu secara emosional.
3.
Kurang sosialisasi dengan masyarakat sehingg kurang
mengenal norma kesusilaan, dan tanggung jawab sosial.
4.
Mereka senang dengan kegiatan yang “impulsif” atau
tanpa piker panjang, meskipun mereka tahu perbuatan itu merugikan.
5.
Tidak atau kurang memiliki hati nurani.
6.
Kurang meiliki disiplin dan kontrol diri.
Selain
pendapat ttersebut, ada juga ciri-ciri yang diungkapkan Gunarsah dalam Yudhin
(2009:44) ciri-ciri pokok dalam kenakalan remaja antara lain:
a. Dalam
pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah laku yang
bersifat pelanggaran terhadap noma hukum yang berlaku dan pelanggaran
nilai-nilai moral.
b. Kenakalan
tersebut mempunyai tujuan yang anti sosial yakni dengan perbuatan atau tingkah
laku tersebut bertentangan dengan nilai atau moral sosial yang ada di
lingkungan hidupnya.
c. Kenakalan
remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17
tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan oleh status
perkawinan, maka dapat ditambah bahwa kenakalan remaja adalah perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun dan belum
menikah.
d. Kenakalan
remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja atau dapat juga dilakukan
secara bersama-sama dalam suatu kelompok remaja.
Dari
beberapa ciri-ciri yang dikemukakan tokoh di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa ciri-ciri kenakalan remaja adalah perilaku yang melanggar
aturan, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Selain itu perilaku
tersebut cenderung anti sosial, dilakukan baik secara individu maupun kelompok,
dan anak-anak delinkuennya merupakan remaja yang impulsif (tidak berfikir
panajang sebelum bertindak).
3.
Jenis-jenis
kenakalan remaja
Adapun secara umum seperti kita ketahui
kenakalan remaja di zaman sekarang baik sifat maupun bentuknya terus mengalami
perubahan dari masa ke masa. Sifat remaja sangat besar untuk mencoba dan selalu
ingin tahu, menyebabkan remaja berusaha untuk mempraktekan dan meniru segala
perilaku baru yang dikembangkan dan dibanggakan para remaja. Perilaku baru
tersebut kebanyakan tidak sesuai dengan aturan maupun norma-norma yang berlaku.
Sama dengan definisi kenakalan remaja yang banyak
dikeluarkan oleh beberapa ahli. Jenis, bentuk atau macam dari kenakalan remaja
itu sendiri memiliki banyak versi. Menurut Jensen (Sarwono, 2012:256) membagi
kenakalan remaja menjadi empat jenis yaitu:
a.
Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang
lain, misalnya perkosaan, perkelahian, perampokan, pembunuhan.
b.
Kenakalan yang menimbulkan korban materi, misalnya
pencurian, perampokan, pencopetan.
c.
Kenakalan sosial yang tidak berdampak pada orang lain
misalnya pelacuran, penyalahgunaan obat.
d.
Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari
statusnya sebagai pelajar dengan cara membolos. Selain itu melawan status
sebagai seorang anak dengan cara melarikan diri dari rumah.
Berbeda dengan Kartini Kartono (2011:21) menyebutkan
wujud perilaku delinkuen adalah:
a.
Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu
lintas.
b.
Perilaku ugal-ugalan, brandalan, yang mengacaukan
ketentraman masyarakat sekitar.
c.
Perkelahian antargang, antarkelompok,antarsekolah, yan
terkadang mengakibatkan korban.
d.
Membolos sekolah lalu bergelandangan di jalan.
e.
Kriminalitas anak dan remaja berupa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, pembnuhan, dll.
f.
Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan
seks bebas.
g.
Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan
motif seksual.
h.
Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika.
i.
Tindak immoral seksual secara terang-terangan.
j.
Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan
seksual lain pada anak remaja disertai tindakan sadistis.
k.
Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan
taruhan.
l.
Komersialisasi seks, pengguguran janin, dan pembunuhan
bayi.
m.
Tindakan radikal dan ekstrim dengan cara kekerasan,
penculikan dan pembunuhan.
n.
Perbuatan a-sosial dan anti sosial disebabkan karena
gangguan kejiwaan.
o.
Tindakan yang disebabkan penyakit tidur, juga luka di
kepala dengan kerusakan pada otak.
Dari berbagai pendapat diatas, dapat saya simpulkan
jenis-jenis kenakalan remaja adalah kenakalan fisik (perkosaan, pembunuhan,
penganiayaan, dll), kenakalan materi atau harta (pencurian, perampoka,
pemalakan, dll), serta kenakalan sosial (membolos, tawuran antarpelajar, dll),
dan kenakalan seksual (pornografi dan pornoaksi).
4.
Faktor
penyebab kenakalan remaja
Prof.DR. Sofyan
S.Willis, M.Pd menyebutkan ada empat faktor yang menyebabkan tingkah laku
kenakalan yaitu:
a.
Faktor di dalam diri anak itu sendiri.
Faktor in
disebabkan oleh bawaan sejak lahir atau kejadian kelahiran bayi. Lemahnya
pertahanan diri, kurangna kemampuan penyesuaian diri, dan kurangnya dasar-dasar
keimanan juga termasuk dalam faktor yang bisa menyebabkan kenakalan remaja.
b.
Faktor di rumah tangga
Anak yang
kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua, lemahnya keadaan ekonomi orang
tua di desa yang tidak mampu mencukupi kebutuhan anak, serta kehidupan keluarga
yang tidak harmonis merupakan faktor yang berasal dari lingkungan keluarga.
c.
Faktor di masyarakat
Faktor ini
terdiri dari kurangnya pelaksanaan ajaran-ajaran agama secara konsekuen,
masyarakat yang kurang memperoleh pendidikan, kurangnya pengawasan terhadap
remaja, serta pengaruh norma-norma baru dari luar.
d.
Faktor yang berasal dari sekolah
Faktor terakhir yang menyebabkan
kenakalan remaja menurut Willis ialah faktor dari sekolah. Faktor guru,
fasilitas pendidikan, norma-norma pendidikan dan kekmpakan guru, kekurangan
guru, menjadi faktor penyebab kenakalan remaja bisa muncul.
Faktor penyebab munculnya kenakalan remaja kembali dibicarakan oleh Kartini
Kartono (2011:25). Ia membagi faktor tersebut menjadi empat teori yaitu:
a.
Teori biologis
Kenakalan
remaja muncul karena faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga
bisa karena cacat jasmaniah yang dibawa seseorang sejak lahir.
b.
Teori psikogenis
Teori ini
lebih menekankan pada aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor
intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap, fantasi, dan lain-lain.
c.
Teori sosiogenis
Teori ini
berpendapat bahwa kenakalan remaja disebabkan karena muni sosiologis atau
sosial psikologis. Misalnya karena pengaruh struktur sosial, tekanan kelompok,
peranan sosial, dll.
d.
Teori subkultur
“Kultur” dalam hal ini menyangkut
nilai dan norma yang khas pada anggota kelompok-kelompok. Sedangkan istilah
“sub” mengindikasikan bahwa bentuk budaya bisa muncul dalam suatu sistem yang
lebih inklusif sifatnya.
Berbagai teori mencoba menjelaskan penyebab kenakalan remaja (Sarwono,
2012: 255) antara lain:
a.
Rational
choice. Teori ini mengutamakan faktor individu daripada faktor lingkungan.
b.
Social
disorganization. Kaum positivis lebih mengutamakan faktor budaya. Yang
menyebabkan kenakalan remaja ialah berkurangnya pranata-pranata masyarakat yang
selama ini menjaga kesimbangan atau harmoni dalam masyarakat.
c.
Strain. Tekanan yang
besar dalam masyarakat menyebabkan kenakalan remaja. Misalnya saja kemiskinan,
yang membuat sebagian orang melakukan tindak kejahata.
d.
Differential
association. Kenakalan remaja akibat dari salh pergaulan. Anak-anak
menjadi nakal karena bergaul dengan anak-anak yang nakal pula.
E. Penelitian Yang Relevan
Dalam kajian pustaka ini akan dikemukakan penelitian-penelitian yang
relevan, yang menjadi sumber acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian.
Penelitian yang relevan ini terkait dengan judul peneliti yaitu “Studi Tentang
Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Mojosari Kabupaten Mojokerto”. Penelitian-penelitian
yang relevan tersebut dirinci dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.1:
Penelitian-penelitian terdahulu yang relevan
No.
|
Nama
|
Maheri Seto Nugroho
|
1.
|
Judul
|
Hubungan antara kenakalan dan
kematangan emosi siswa kelas VIII SMP Barunawati Surabaya
|
Tahun
|
2010
|
|
Proses
|
·
Jenis penelitian: Penelitian
kuantitatif. Data yang digunakan adalah data kuantitatif, dimana subjek
penelitian dapat diteliti secara langsung.
·
Populasi : Siswa kelas VIII
Barunawati Surabaya, yang terdiri dari lima kelas dengan jumlah sebanyak 212
siswa .
·
Teknik sampling: Proporsional
Random Sampling.
·
Metode pengumpulan data:
Menggunakan angket (kuesioner ) untuk mengungkapkan hubungan antara kenakalan
remaja dengan kematangan emosi.
·
Metode analisis data: Menggunakan
model korelasi karena digunakan untuk membandingkan hasil pengukuran variabel
yang berbeda agar dapat menentukan tingkat hubungan antara variabel tersebut.
|
|
Hasil
|
Berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan dan telah dikemukankan dalam analisis data, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada hubungan negatif signifikan antara kenakalan siswa
dengan kematangan emosi pada siswa kelas VIII SMP Barunawati Surabaya. Ini
berarti hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima. Hasil dalam penelitian
diketahui bahwa sebanyak sebelas siswa memiliki skor kenakalan siswa tinggi
dengan skor kematangan siswa rendah, sebanyak 37 siswa memiliki skor
kenakalan siswa dengan skor kematangan emosi rendah, dan 8 siswa memiliki
skor kenakalan siswa rendah dengan skor kematangan emosi tinggi. Dengan
demikian mengandung makna semakin rendah tingkat kenakalan siswa maka semakin
tinggi tingkat kematangan emosi yang dimiliki oleh siswa. Sebaliknya, semakin
tinggi tingkat kenakalan siswa maka semakin rendah tingkat kematangan emosi
yang dimiliki oleh siswa.
|
|
2.
|
Nama
|
Dwi hendra prabowo
|
Judul
|
Hubungan antara kenalakan remaja
dengan pola asuh permisif (study korelasi pada siswa kelas XI IPA SMA Kartika
V3 Surabaya)
|
|
Tahun
|
2006
|
|
Proses
|
·
Jenis penelitian: Korelasi
sebab-akibat, dengan variabel terikat yaitu kenakalan remaja, dan variabel
bebas adalah pola asuh permisif.
·
Populasi: siswa kelas XI IPS Kartika V3 Surabaya (IPS
1, IPS 2, IPS 3) dengan jumlah seluruh siswa kelas IPS sebesar 118
·
Teknik sampling: Penelitian ini
mengambil setiap kelas berisi 40 orang siswa, dengan keseluruhan 118 orang siswa,
karena jumlah lebih dari 100 orang siswa maka, peneliti mengambil 30% dari
tiap-tiap kelas yaitu IPS 1=12, IPS 2=12, IPS 3=11. Jumlah seluruh sampel
adalah 35.
·
Metode pengumpulan data : Dengan menggunakan angket. Angket tersebut merupakan
angket tertutup yang berisi pertanyaan tentang perilaku kenakalan yang sudah
tersedia jawaban yang diberikan yang harus diisi oleh siswa.
·
Teknik analisis data: dalam
penelitian ini menggunakan teknik statistik yang dilakukan secara cermat dan
teliti. Tujuan analisis dalam penelitian ini unutk mengetahui hubungan yang
signifikan anatara kenakalan remaja dengan pola asuh permisif, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan analisis product moment dari Karl Person.
|
|
Hasil
|
Dari hasil analisis dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan positif antara kenakalan remaja dengan pola asuh permisif
pada siswa kelas XI IPS Kartika V3 Surabaya. Hal ini berarti semakin tinggi
kenalakan remaja, semakin tinggi pola asuh yang diterapkan orang tua.
Sebaliknya semakin rendah kenakalan remaja ,semakin rendah pula pola asuh
permisif yang diterapkan oleh orang tua.
|
|
3.
|
Nama
|
Yudhin
Apriandhika
|
Judul
|
Peran Bimbingan Konseling (BK) Dalam Mengatasi
Kenakalan
Remaja Di SMK Negeri 2 Malang
|
|
Tahun
|
2009
|
|
Proses
|
·
Jenis penelitian: Penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian ini mengkaji dan mendeskripsikan peran guru
BK dalam mengatasi kenakalan remaja di SMKN 2 Malang.
·
Sumber data: dalam penelitian ini
sumber data yang digunakan menurut Suharsimi Arikunto yaitu sumber person
(konselor), sumber place, sumber paper (dokumen).
·
Instrumen penelitian adalah
peneliti sendiri karena penelitian ini termasuk penelitian kualitatif.
·
Teknik pengumpulan data:
observasi, wawancara, dan dokumentasi.
·
Teknik analisis data: mengunakan
teknik analisis deskriptif kualitatif.
|
|
Hasil
|
Berdasarkan
pembahasan dan analisis hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa
kenakalan remaja pada mulanya ada dan dipengaruhi oleh berbagai faktor
sehingga remaja akhirnya bertindak di luar norma dan aturan yang berlaku.
Macam-macam bentuk kenakalan secara umum yang pernah dilakukan siswa siswi di
SMK Negeri 2 Malang beserta faktornya sebagai berikut:
a.
Membolos, faktor yang mempengaruhinya sebagian besar adalah faktor harapan
yang rendah terhadap pendidikan dan faktor lain seperti teman sebaya, faktor
keluarga serta faktor kontrol diri.
b.
Merokok, adapun faktor yang mempengaruhi pelaku untuk merokok di antaranya
karena dipengaruhi faktor teman sebaya dan faktor kontrol diri.
c.
Berkelahi, faktor yang mempengaruhi pelaku untuk berkelahi adalah karena
kurangnya kontrol diri, dan faktor teman sebaya.
Pada
umumnya bentuk kenakalan yang dilakukan siswa-siswi SMK Negeri 2 Malang yang
ditemui selama penelitian adalah sebagian besar bolos sekolah, sebagian kecil
merokok dan berkelahi walaupun berdasarkan laporan ada juga yang minum
minuman keras, berjudi, kabur dari rumah dan lain
Sebagainya. Beberapa upaya dan tahapan
yang dilakukan bimbingan konseling dalam mengatasi kenakalan remaja antara
lain tertuang dalam beberapa tindakan berikut
ini:
a.
Tindakan Preventif, berfungsi untuk mencegah timbulnya kenakalan remaja. Adapun
untuk melakukan pencegahannya ada beberapa cara. Di antaranya melalui:
pemberian layanan informasi (penyuluhan materi) tentang bahaya narkoba,
miras, judi, free sex, bahaya rokok
dan lain sebagainya. Serta ada bimbingan kelompok dan individu juga mediasi.
b.
Tindakan Represif, merupakan usaha untuk menindak setiap perbuatan pelanggaran
atau kenakalan baik ringan maupun berat melewati tindakan represif ini. Jadi
di sini memang sudah ada bukti kesalahan yang dilakukannya. Sedangkan jalur
penanganannya ada kunjungan rumah (home visit), konseling kelompok dan
konseling individu. Untuk pelaksanaannya kondisional sesuai ada dan
datanganya masalah itu sendiri.
c.
Tindakan Kuratif, Tindakan ini dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan
dan dianggap perlu mengubah tingkah laku remaja melanggar tersebut itu dengan
memberikan pendidikan lagi. Tindakan kuratif ini memang untuk menangani masalah
atau kenakalan yang tergolong berat atau bisa semula masalah kecil kemudian
menjadi lebih parah atau berubah menjadi kenakalan berat yang sebelumnya
dilakukan tindakan represif. Bentuknya berupa konferensi kasus dan alih
tangan kasus ke pihak lain dalam hal ini ke
pihak sekolah.
|
|
4.
|
Nama
|
Arif
Budi Mulyono
|
|
Judul
|
Peran Aktif Guru PAI Dalam Menanggulangi Kenakalan Siswa ( Studi Kasus
Di SMA 8 Semarang)
|
|
Tahun
|
2008
|
|
Proses
|
·
Jenis peneilitian: Penelitian ini
termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologis.
·
Sumber data: Data primer dari
siswa yang bersangkutan, dan data sekunder dari pustaka-pustaka.
·
Metode pengumpuul data:
Observasi, wawancara, dokumentasi.
·
Teknik analisis data: analisis
yang digunakan adalah analisis non statistik. Metode analisisnya menggunakan
metode deskriptif, metode deduktif, dan metode induktif.
|
|
Hasil
|
Kenakalan
yang muncul di lingkungan SMA 8 adalah membolos, berkelahi, terlambat dan
lain-lain. Adapun cara guru PAI dalam menanggulangi kenakalan siswa yang ada pada
SMA 8 Semarang mempunyai beberapa peran aktif artinya guru PAI berperan
penting dalam menanggulangi kenakalan siswa. pertama cara preventif atau
tindakan yang dilakukan guru PAI untuk menghilangkan atau menjauhkan dari
segala pengaruh kenakalan. Adapun cara Preventif guru PAI dalam
menanggulangi kenakalan siswa adalah sebagai berikut:
1.
Guru PAI memanggil siswa yang sering melakukan kenakalan pada jamjam khusus
yaitu pada istirahat atau diluar jam pelajaran, dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman dan keyakinan bahwa guru PAI dalam memberikan pengarahan tidak
hanya menggunkan metode lisan saja akan tetapi metode praktik dan perhatian
menjadikan siswa akan memahami bagaimana seorang guru menjadi peran dalam
menanggulangi kenakalan.
2.
Guru PAI mengadakan penyuluhan khusus dengan terapi keagamaan agar siswa
benar-benar memahami dan menyesali bahwa perilaku yang dilakukan tidak
termasuk ajaran agama. Kedua penanggulangan dengan cara Represif atau
tindakan perbaikan dengan memberikan pemahaman kembali tentang ajaran agama.
Melalui tindakan tersebut upaya guru PAI dalam menanggulagi kenakalan akan
dapat terwujud. Cara-cara tersebut meliputi:
1.
Guru PAI Memberikan pemahaman dan pengertian tentang pendidikan agama yaitu
dengan melalui pelajaran di dalam kelas.
2.
Mengadakan kegiatan-kegiatan keberagamaan baik hari besar agama ataupun
kegiatan keberagamaan siswa setiap harinya, seperti sholat dhuhur berjamaah
dan sholat jum’at bersama di masjid sekolah.
3.
Bekerja sama dengan guru lain khususnya guru bimbingan konseling, wali kelas
dan guru mata pelajaran. Dengan metode ini tidak hanya guru PAI yang berperan
dalam menaggulangi kenakalan siswa akan tetapi guru yang lain juga mempunyai
tugas dalam menanggulangi kenakalan siswa.
4.
Berupaya menjunjung nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sekolah yaitu mendukung
adanya program ekstra kulikuler islami seperti baca tulis Al-Qur’an, rebana,
pesantren kilat dan lain-lain. Beberapa cara tersebut sebagai bahan acuan dan
peran aktif guru PAI dalam menanggulangi kenakalan siswa di SMA 8 Semarang. Jadi
pendidikan agama Islam mempunyai arti penting dalam pembentukan karakter
siswa khususnya dalam tingkah laku kepada Tuhan. Guru PAI dalam praktiknya
harus berperan aktif dalam menanggulangi kenakalan yang ada dan berusaha
memberikan solusi dengan perannya sebagai guru PAI.
|
F.
Kerangka
Berfikir
Masa remaja adalah masa transisi atau masa pealihan dari masa
anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja sedang mencari-cari jati diri
yang sesungguhnya. Masa remaja yang merupakan masa topan
badai yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai dan norma. Dengan
kebebasan bersosialisasi yang dimiliki maka terkadang remaja menjadi bebas
untuk melakukan segala sesuatu, tanpa memperhatikan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Akibat pertentangan antara nilai yang ada di dalam diri remaja
dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat, remaja melakuka
kenakalan-kenakalan yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tapi juga
merugikan orang lain.
Berbagai bentuk kenakalan remaja bisa ditemukan di lingkungan masyarakat
kita. Salah satu tempat yang seringkali ditemukan kenakalan remaja di dalamnya
ialah lingkungan sekolah. Remaja berada pada jenjang pendidikan sekolah
menengah baik Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas
(SMA), dan sudah pasti remaja melakukan kenakalan yang jenisnya berbeda-beda an
intensitasnyapun tidak sama antara remaja yang satu dengan remaja yang lain.
Dengan menggunakan berbagai metode pengumpulan data terhadap beberapa
sumber data, maka peneliti ingin mengetahui apa saja bentuk-bentuk atau
gambaran secara umum kenakalan remaja yang terjadi di SMA, khususnya SMAN 1
Mojosari sebagai tempat penelitian. Peneliti juga mencoba untuk mencari tahu
faktor yang menyebabkan kenakalan remaja itu bisa terjadi. Untuk memperjelas
gambaran kerangka berfikir ini akan dituangkan dalam bagan di bawah ini.
Bagan 2.1:
Kerangka pikir penelitian
FENOMENA
|
Pengumpulan
Data
|
Dokumentasi
|
Gambaran
Secara Umum Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Mojosari Beserta Faktor Penyebabnya
|
Analisis
Data
|
Wawancara
|
Observasi
|
Siswa
|
Sumber
Data
|
Guru
|
Konselor
|
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan
Dan Jenis Penelitian
Penelitian ini akan mengkaji dan mendeskripsikan
gambaran tentang kenakalan remaja serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
terjadinya kenakalan remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan fokus penelitian dan
tujuan penelitian yang ingin dicapai, sehingga jenis penelitian yang digunakan
peneliti adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Bodgan dan Taylor dalam Lexy (2010) mendefinisikan
metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Pendekatan ini di arahkan pada latar dan individu tersebut secara
holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi
ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari
suatu keutuhan. Borg and Gall (1988) dalam Sugiyono (2010) menyatakan bahwa “Qualitative research is much more difficult
to do well than quantitative research because the data collected are usually
subjective and the main measurement tool for collecting data is the
investigator himself”. Penelitian kualitatif lebih sukar dilakukan daripada
penelitian kuantitatif karena data yang dikumpulkan biasanya bersifat
subjektifdan alat pengumpul datanya adalah peneliti itu sendiri.
Sugiyono (2010:1) mengatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan
data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna
dari pada generalisasi. Penelitian
ini sendiri merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif artinya dalam
penelitian kualitatif data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan
data tersebut berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi,
dokumen resmi, dan lainnya (Lexy, 2002).
B.
Tahap-Tahap
Penelitian
Dalam penelitian ini akan dibagi menjadi tiga tahap
yaitu:
1. Tahap
pra lapangan
Pada
tahap ini peneliti melakukan syudi pendahuluan guna memperoleh informasi awal
tentang permasalahan yang akan diteliti. Selanjutnya peneliti menyusun proposal
penelitian yang berisi tentang gambaran kegiatan penelitian yang akan
dilakukan, serta diseminarkan di jurusan psikologi bimbingan dan konseling.
Peneliti juga mengurus surat ijin dari fakultas untuk kemudian diserahkan
kepada pihak SMAN 1 Mojosari sebagai tempat penelitian akan dilakukan.
2. Tahap
pelaksanaan penelitian
Pada
tahap ini peneliti mulai melakukan penelitian sesungguhnya. Ketika memasuki
tahap ini peneliti tidak bisa langsung melakukan pengambilan data kepada nara
sumber, namun peneliti perlu membua jadwal penelitia yang disesuaikan dengan
jadwal nara sumber yaitu siswa, konselor, dan guru di SMAN 1 Mojosari. Hal ini
perlu dilakukan agar kegiatan penelitian tidak mengganggu aktivitas dan
kegiatan belajar mengajar di SMAN 1 Mojosari.
3. Tahap
penyelesaian
Tahap terakhir
ialah tahap penyelesaian yaitu analisis data yang telah dikumpulkan di lapangan.
Data yang didapat di lapangan masih berupa data mentah yang masih perlu diolah
sehingga menjadi data yang sistematis. Data dianalisis untuk kemudian dibuat
laporan penelitian. Sistematika penulisan laporan penelitian disesuaikan dengan
format pedoman penulisan skripsi yang berlaku di Universitas Negeri Surabaya.
C.
Lokasi
Penelitian
Penelitian tentang studi kenakalan remaja ini
dilaksanakan di SMAN 1 Mojosari, yang berlokasi di jalan Pemuda No.55 Kecamatan
Mojosari Kabupaten Mojokerto. Adapun hal yang menjadi dasar dalam pemilihan
tempat di SMAN 1 Mojosari yakni yang pertama, fokus penelitian ini adalah
kenakalan remaja dan usia remaja itu sendiri biasanya berada pada jenjang
Sekolah Menengah Atas. Kedua, sekolah ini merupakan sekolah negeri yang seharusnya
memiliki tingkat selektifitas yang tinggi dibandingkan dengan Sekolah Menengah
Atas Swasta, dan seharusnya bisa menjadi contoh untuk sekolah yang lain, namun
berdasarkan hasil wawancara dan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti
ternyata siswa SMAN 1 Mojosari juga melakukan kenakalan remaja. Ketiga, lokasi
sekolah yang strategis yaitu terletak di jantung kota Mojosari yang mudah
dijangkau oleh peneliti.
Dari alasan tersebut, maka dari itu peneliti ingin
mengetahui gambaran kenakalan remaja yang ada di SMAN 1 Mojosari, dan
faktor-faktor yang menyebabkan kenakalan remaja di SMAN 1 Mojosari.
D.
Sumber
Data
Yang dimaksud sumber data penelitian adalah benda,
hal, atau orang tempat peneliti mengamati, membaca, atau bertanya tentang data
(Arikunto, 2009:88). Sumber data tersebut menjelaskan tentang darimana
diperolehnya data sifat yang dikumpulkan serta orang-orang yang dimintai
keterangan sehubungan dengan penelitian yang dilakukan. Sugiyono (2010)
menyebutkan bahwa dalam sampel penelitian kualitatif bukan dinamakan responden
melainkan nara sumber, partisipan, informan, teman, dan guru penelitian. Sampel
dalam penelitian kualitatif juga buka disebut sampel statistik, melainkan
sampel teoritis karena tujuan penelitian kualitatif adalah menghasilkan teori.
Penentuan sumber data dalam penelitian kualitatif
tidak didasarkan pada perhitungan statistik, melainkan sampel yang dipilih
berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum (Sugiyono, 2010:54).
Penentuan sumber data dalam penelitian ini menggunakan pengambilan sampel
dengan cara purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel suber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010:53).
Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu
tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan
memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti. Dalam
penelitian ini yang akan menjadi sumber data adalah sebagai berikut.
Tabel
3.1: Sumber data penelitian
No.
|
Kelas
|
Jurusan
|
Sumber
Data
|
|||
IPA
|
IPS
|
Siswa
|
Konselor
|
Guru
|
||
1.
|
Kelas
X
|
321
siswa
|
2
siswa
|
2
orang
|
2
orang
|
|
2.
|
Kelas
XI
|
224
siswa
|
87
siswa
|
2
siswa
|
||
3.
|
Kelas
XII
|
191
siswa
|
116
siswa
|
2
siswa
|
||
Jumlah
|
939
siswa
|
6
siswa
|
2
orang
|
2
orang
|
E.
Instrumen
Pengumpulan Data
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, maka
instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah peneliti sendiri. Lexy J.
Moleong (2002) dalam Yudhin (2009) menyebutkan bahwa peneliti dalam penelitian
kualitatif cukup rumit. Ia berperan sebagai perencana, pelaksana pengumpulan
data, penganalisa data, penafsir data dan pada akhirnya ia menjadi pelapor
hasil penelitiannya. Sedangkan menurut Sugiyono (2010:60), peneliti kualitatif
sebagai human instrument berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan
pengumpulan data, menilai kualitas data, analisi data, menafsirkan data, dan
membuat kesimpulan atas temuannya.
Peneliti sebagai instrumen juga perlu “divalidasi”
seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya
terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi
validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan
terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek
penelitian, baik secara akademik maupun logistik (Sugiyono, 2010:59).
Menurut Nasution (1988) dalam Sugiyono (2010:61)
peneliti sebgai instrumen penelitian karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peneliti
sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan.
2. Peneliti
sebagai instrumen harus dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan
dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3. Tiap
situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa test atau
angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
4. Suatu
situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan
pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannya,
menyelaminya, berdasarkan pengetahuan kita.
5. Peneliti
sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
6. Hanya
manusia sebagai instumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang
dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk
memperoleh penegasan, perubahan, dan perbaikan.
7. Dengan
manusia sebagai instrumen, respon yang menyimpang dan aneh justru diberi
perhatian. Respon yang lain daripada yang lain, bahkan yang bertentangan
dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai
aspek yang diteliti.
F.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yag paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan penelitian adalah untuk mengumpulkan
data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono, 2012:224).
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan beberapa metode. Adapun metode
pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Gambar
3.1: Teknik pengumpulan data penelitian
Dokumentasi
|
Wawancara
|
Observasi
|
Teknik
Pengumpulan Data
|
1.
Metode observasi
Nasution
(1988) dalam Sugiyono (2012:226) menyatakan bahwa obserervasi adalah dasar
semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data,
yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data itu
dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih,
sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron) maupun yang sangat
jauh (benda luar angkasa) dapat diobservasi dengan jelas. Menurut Marshall
(1990) dalam Sugiyono (2012:226) menyatakan bahwa melalui observasi, peneliti
belajar tetang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.
Sanafiah
Faisal dalam Sugiyono (2010:64) membagi observasi menjadi tga yaitu observasi
partisipatif, observasi yang secara terang-terangan atau tersamar, dan
observasi yang tak berstruktur. Dalam penelitian ini, metode observasi yang
digunakan adalah observasi tak berstruktur. Menurut Sugiyono (2010:67)
observasi tak berstruktur adalah observasi yang ak dipersiapkan secara
sistematis tentang apa yang diobservasi. Dalam observasi tak berstruktur ini,
peneliti akan mengamati peristiwa dan mencatatnya atau meringkasnya untuk kemudian
di analisis. Dalam peelitian ini, peneliti akan mengobservasi:
a. Lokasi
atau tempat penelitian dimana interaksi situasi sosial sedang berlangsung.
dalam hal ini tempat yang dimaksud adalah SMAN 1 Mojosari.
b. Siswa-siswi
SMAN 1 Mojosari dalam kehidupan sekolah sehari-hari.
c. Aktifitas
siswa-siswi, serta konselor, dan guru SMAN 1 Mojosari.
2.
Metode wawancara
Esterberg
(2002) dalam Sugiyono (2010:72) menyatakan wawancara adalah pertemuan dua orang
untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Sependapat dengan Esterberg,
Susan Stainback (1988) dalam Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa dengan wawancara
maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan
dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini
tidak bisa ditemukan melalui observasi.
Esterberg
(2002) dalam Sugiyono (2010:73) mengemukakan beberapa macam wawancara yaitu
wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur. Berdasakan
macam-macam wawancara tersebut, maka peneliti menggunakan metode wawancara tak
berstuktur. Peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun
secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan.
3.
Dokumentasi
Menurut Arikunto (Yudhin, 2009), dokumentasi
adalah penelitian dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku,
majalah, dokumen, peraturan-peraturan, catatan harian atau kegiatan dan
sebagainya. Dokumen itu sendiri menurut Sugiyono (2010:82) merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Metode ini digunakan peneliti sebagai bahan
pendukung wawancara dan observasi. Dalam metode dokumentasi ini, peneliti ingin
memperoleh data tentang:
a. Sejarah
berdirinya SMAN 1 Mojosari
b. Visi
dan misi SMAN 1 Mojosari.
c. Letak
geografis SMAN 1 Mojosari.
d. Jumlah
guru dan murid di SMAN 1 Mojosari.
e. Sarana
dan prasaran di SMAN 1 Mojosari.
f. Tata
tertib sekolah SMAN 1 Mojosari.
g. Catatan
guru BK tentang permasalahan-permasalahan siswa, terutama yang berhubungan
dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Mojosari.
G.
Teknik
Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan
& Biklen dalam Lexy J. Moleong adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajarinya dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan pada orang lain. Nasution dalam Sugiyono (2010:88), melakukan
analisis adalah pekerjaan yang sulit, memerlukan kerja keras,. Analisis
memerlukan daya kreatif serta kemampuan intelektual yang tinggi. Tidak ada cara
tertentu yang dapat diikutiuntuk mengadakan analisis, sehingga setiap peneliti
harus mencari sendiri metode yang dirasakan ccok dengan sifat penelitiannya.
Bahan yang sama bisa diklasifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda.
Menurut Sugiyono sendiri, analisis data
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari. Terakhir membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
sendiri dan orang lain. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik
analisis mengikuti konsep dari Miles and Huberman.
Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono
(2010) mengemukakan bahwa aktivitas analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secraa terus menerus pada setiap
tahapan penelitian hingga datanya jenuh. Langkah-langkah analisis datanya
terdiri dari data reduction (reduksi
data atau merangkum dan fokus pada masalah yang penting), data display (penyajian data), dan conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan dan
verifikasi). Adapun langkah-langkah tersebut ditunjukkan dengan gambar berikut:
Gambar
3.2: Komponen analisis data (interactive model)
Data
Collection
|
Conclusion
drawing/varification
|
Data
reduction
|
Data
display
|
H.
Keabsahan
Dan Keajegan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti perlu menguji
keabsahan data agar peneliti memperoleh data yang valid. Dalam penelitian
kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan
antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek
yang diteliti (Sugiyono, 2010).
Adapun peneliti dalam menguji keabsahan data menggunakan
tekniksebagai berikut:
1. Ketekunan
pengamatan
Ketekunan
yang dimaksud adalah ketekunan dalam menemukan persoalan dan memusatkan diri
pada persoalan tersebut. Peneliti memperdalam pengamatan terhadap masalah yang
diteliti yaitu tentang kenakalan remaja di SMAN 1 Mojosari.
2. Triangulasi
Wiliam
Wiersma (1986) dalam Sugiyono (2010) menjelaskan triangulasi dalam pengujian
kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagi sumber dengan
berbagai cara, dan berbagai waktu. Jadi terdapat triangulasi sumber,
triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu.
Namun dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teknik trianglasi sumber dan triangulasi
teknik pengumpulan data. Ilustrasi triangulasi disajikan dalam gambar di bawah
ini.
Gambar
3.3 a. Triangulasi sumber data
Siswa
|
Guru
|
Konselor
|
Gambar
3.3 b. Triangulasi teknik pengumpulan data
Observasi
|
Dokumentasi
|
Wawancara
|