gudang ilmuku sekarang

Senin, 26 Desember 2011

konseLing postmodern


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Bimbingan dan Konseling beberapa ahli paham modern percaya bahwa yang dapat di observasi dan diketahui tingkah lakunya adalah realitas objektif. Paham ini menjadikan manusia sebagai pusatnya. Lebih lanjut, paham ini percaya bahwa mereka dapat dengan bebas melakukan segala usaha dalam melakukan observasi karena realitas itu ada. Para ahli modernist percaya bahwa orang yang datang untuk diterapi adalah orang-orang yang secara norma menunjukan penyimpangan perilaku.
Contohnya, konseli yang depresi, yang menunjukan atau larut dalam kesedihan di sepanjang harinya akan dianggap berada dibawah level mood yang normal. Konseli yang dilabeli karena kesedihannya yang berlebihan itu akan dikatakan abnormal dan selanjutnya dia datang ke terapis supaya dia dapat kembali ke tingkah laku yang normal kembali. Sebaliknya, paham postmodern percaya pada realitas subjektif yang menganggap realitas itu tidak ada dan tidak dapat dengan bebas di observasi. Dalam pandangan postmodern, bahasa dan penggunaanya dalam suatu cerita akan memberikan arti. Dalam hal ini mungkin kita akan mendapatkan banyak maksud dari cerita yang diutarakan oleh seseorang dan beberapa bagian dari cerita itu akan menunjukan perasaan sebenarnya dari klien.
 Social constructionism adalah salah satu paham yang berada dalam lingkup postmodernisme memandang realitas subjek tanpa membantah apakan itu akurat atau rational. Social constructionism didasarkan pada penggunaan bahasa dan fungsi dari situasi/lingkungan tempat klien tinggal. Realitas adalah sesuatu yang telah dibentuk secara sosial. Dalam paham ini, masalah ada karena klien/orang menganggapnya sebagai ,masalah dan butuh untuk di selesaikan. Dalam pandangan postmodern, bahasa dan penggunaanya dalam suatu cerita akan memberikan arti. Dalam hal ini mungkin kita akan mendapatkan banyak maksud dari cerita yang diutarakan oleh seseorang dan beberapa bagian dari cerita itu akan menunjukan perasaan sebenarnya dari klien. Social constructionism telah lahir ketika Kenneth Gergen (1985, 1991, 1999) menekankan pendapatnya tentang cara pembentukan makna dari relasi sosial yang di bangun seseorang. Dalam Social constructionism, para terapisnya lebih memilih untuk untuk berkolaborasi atau bertindak sebagai penasehat disbanding mengikuti aturan dari para ahli. Mereka memandang bahwa klienlah yang menjadi ahli dalam hidupnya. Pada paham ini dalam proses terapinya lebih mementingkan kolaborasi dari empati dan partnership dibanding dengan proses assessmennya atau teknik yang digunakan. Gaya bercerita dan proses penggunaan bahasa telah menjadi fokus dalam upaya membantu dan mengerti bentuk perubahan yang diinginkan klien. Teori Social constructionism dalam perkembangannya, terdapat 4 asumsi utama (Burr, 1955), yang pada dasarnya merupakan pembeda antara teori postmodern dan perpektif psikologi yang tradisional.








BAB II
PEMBAHASAN
2.1   DEFINISI
Kita telah memasuki dunia postmodern di mana kebenaran dan realitas sering dipahami sebagai sudut pandang yang dibatasi oleh konteks sejarah dan bukan sebagai objektif, fakta-fakta kekal. Modernis lebih percaya pada realitas independen dari setiap percobaan untuk mengamatinya, orang mencari terapi untuk masalah ketika mereka telah menyimpang terlalu jauh dari beberapa norma objektif. Sebaliknya Postmodernis, percaya pada realitas subyektif yang tidak ada proses observasi independen.
Postmodern adalah suatu kondisi dimana terjadi penolakan / ketidak percayaan terhadap segala hal yang mengarah kepada kebenaran tunggal, keuniversalan, keobjektifan (sesuatu apapun yang hendak dijadikan dasar untuk menilai benar – salahnya sebuah konsep / pengetahuan) atas suatu objek dan realita yang terjadi.
Postmodern mengadopsi narasi, pandangan konstruksionis sosial menyoroti bagaimana kekuasaan, pengetahuan, dan “kebenaran” yang dinegosiasikan dalam keluarga dan sosial lainnya dan konteks budaya (Freedman & Combs, 1996). Terapi ini, dalam bagian, sebuah badan reestablishment pribadi dari penindasan masalah eksternal dan kisah-kisah dominan yang lebih besar.
Postmodern berlangsung singkat (Brief), umumnya antara empat sampai lima sesi saja. Berfokus pada pemecahan masalah (solusi) yang menekankan pada sumberdaya atau kompetensi dan kekuatan – kekuatan konseli, bukan berfokus pada penyebab atau problem. Menekankan pada pandangan bahwa konseli adalah individu yang unik dan subjektif serta bahasa atau naratif yang dikonstruksikan sendiri oleh konseli, bukan menekankan pada realitas “objektif” realitas konsensual (realitas sebagaimana membangun bahasa, memelihara dan mengubah masing – masing tata pandang (worldview) individu. Dalam pemikiran postmodern, menggunakan bahasa dalam cerita-cerita, untuk menceritakan kisah-kisah, dan masing-masing kisah-kisah ini benar bagi orang yang mengatakannya. Setiap orang yang terlibat dalam suatu situasi memiliki perspektif tentang “realitas”.
2.2   PERSPEKTIF HISTORIS
PENDIRI PENDEKATAN MODERN TERAPI
INSOO KIM BERG : Sebagai Direktur exsekutif, pusat terapi keluarga yang singkat di Milwaukee. Sebagai pimpinan oretician dalam Pemusatan solusi terapi singkat (Solution Focused Brief Therapy (SFBT). Dia menyediakan tempat kerja yang dipersatukan, Japan, Korea Utara, Australia, Denmark, Inggris dan Jerman. Hasil tulisannya adalah jasa keluarga yang didasarkan: Pusat pendekatan solusi (1994), bekerja dengan masalah-masalah pemabuk (1992), Pusat Pendekat solusi (1992), dan Interviewing solution (2002).
STEVE DE SHAZER : salah satu pelopor (SFBT) Senior perkumpulan penelitian di Milwaukee, pengarang buku solusi terapi singkat SFBT (1985), petunjuk-petunjuk mempelajari (SFBT) (1988), meletakan perbedaan untuk bekerja (1991), awalnya kata sihir (1994). Dia mempresentasikan melalui tempat-tempat kerja, pelatihan, dan meluas sebagai konsultan di Amerika utara, Eropah, Australia, dan Asia untuk pengembangan teori dan solusi-solusi praktek.
MICHAEL WHITE : membantu pendirian bersama David Epston, ilmu pengobatan terapi naratif, bertempat di Dulwich di Adelaide, Australia. Cinta pada keluarga dan teman-teman, berenang, terbang dengan pesawat kecil, dan bersepeda. Mengantarkan banyak Bukunya: Terapi Naratif untuk tujuan Mengobati (1990), Karangan kehidupan: wawancara and ujian tulis (1995), dan Narratif untuk terapi kehidupan (1997).
DAVID EPSTON : Sebagai pembantu direktur pengembangan terapi Naratif dari pusat terapi keluarga di Auckland, Slandia baru, dan dia sebagai penulis dan guru dari ide-ide naratif, sebagai pelancong internasional, dosen pada pusat pelatihan di Australia, Eropah dan Amerika Utara. Profesional terhadap ancaman kehidupan anak-anak berpenyakit Asma, berjuang untuk kelompok wanita penyandang Anoreksia, dan melibatkan ayah yang dilepas oleh anak-anaknya. Penulis buku Makna Akhir Terapi Naratif (1990), Terapi Naratif untuk Anak dan Keluarga (1997). Suka bersepeda dan mencintai istrinya Anne di rumah pengasingan di sebuah pulau Waiheke.



2.3   POKOK-POKOK TEORI
POSTMODERN UMUMNYA MENGAC PADA 3 BIDANG ( Grenz, 1996 ) :
1.      Era historical (industry, tekn. informasi)
2.      Gerakan pada bidang seni (arsitektur, teater, literature, dunia lukis, performansi dsb)
3.      Kritik – kritik dalam bidang akademik terutama ilmu – ilmu sosial dan filsafat
PANDANGAN TENTANG SIFAT DASAR MANUSIA
1.      Manusia hidup dengan beranekaragam realitas (bahasa, cerita, ideologi) Pluralistik
2.      Tiada kebenaran tunggal
3.      Kebenaran bersifa kontekstual, subjektif
4.      Manusia berbekal metode ilmiah yang tepat dapat menemukan pengetahuan yang terpercaya (realible) dan sahih (valid) tentang klien dan masalah-masalahnya
Pada dasarnya, SFBC didasarkan pada pandangan yang positif dan optimistik tentang hakikat manusia (Corey, 2009; Gladding, 2009).
1.      Manusia adalah makhluk yang sehat dan kompeten. SFBC merupakan pendekatan konseling yang nonpatologis yang menekankan pentingnya kompetensi manusia daripada kekurangmampuan, dan kekuatan daripada kelemahannya.
2.      Manusia mampu membangun solusi yang dapat meningkatkan kehidupannya.
3.      Manusia memiliki kemampuan menyelesaikan tantangan dalam hidupnya.
4.      Bagaimanapun pengaruh lingkungan terhadap manusia, konselor meyakin bahwa saat dalam layanan konseling kliennya bahwa mampu menkonstruksi solusi
5.      terhadap masalah yang dihadapinya.

2.4   SISTEM IMPLEMENTASI
2.4.1          PENDEKATAN KONSELING POSTMODERN
Solution-focused brief counseling (SFBC)
Solution-focused brief counseling (SFBC) merupakan salah satu pendekatan konseling postmodern yang paling penting (Corey, 2009). Pendekatan ini didirikan dan dikembangkan terutama oleh Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg sejak dekade 1980-an di Brief Therapy Center di Milwaukee Wisconsin Amerika Serikat (Capuzzi & Gross, 2009; Sharf, 2004).
Dalam perkembangannya, SFBC dipengaruhi pendekatan-pendekatan pemberian bantuan yang telah berkembang saat itu, diantaranya brief therapy yang dikembangkan Milton Erickson (Gladding, 2009), pendekatan behavior, pendekatan cognitive- behavior , dan systems family therapy (Seligman, 2006).
Pendekatan konseling ini banyak dibutuhkan pada era para konseli dan lembaga-lemaga pemberian bantuan psikologis menuntut layanan konseling yang singkat dan efektif. Demikian pula, keterampilan konseling singkat diperlukan konselor yang bekerja dalam latar pemberian bantuan yang diharapkan memberikan layanan yang lebih banyak dengan waktu yang lebih singkat (Gladding, 2009).
Pendekatan konseling ini menjadi semakin populer dalam pelayanan konseling karena kepraktisan, efisiensi, dan kefektivan dalam pembantuan terhadap konseli (Sciarra, 2004). Disamping itu, sekarang, SFBC merupakan pendekatan konseling yang paling banyak digunakan oleh praktisi profesi pemberian bantuan (Sperry, 2010). SFBC efektif dalam pembantuan terhadap keluarga, pasangan, para individu, anak-anak, dan remaja dengan beragam masalah kehidupan (Prochaska & Norcross, 2007).
SFBC tidak menggunakan teori kepribadian dan psikopatologi yang berkembang saat ini. Konselor SFBC berkeyakinan bahwa tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu. Konselor perlu tahu apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik dan lebih sehat, yaitu tujuan yang lebih baik dan lebih sehat. Individu tidak bisa mengubah masa lalu tetapi ia dapat mengubah tujuannya. Tujuan yang lebih baik dapat mengatasi masalah dan mengantarkan ke masa depan yang lebih produktif. Konselor perlu mengetahui karakteristik tujuan konseling yang baik dan produktif: positif, proses, saat sekarang, praktis, spesifik, kendali konseli, bahasa konseli.
Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC berpokus pada saat sekarang yang dipandu oleh tujuan positif yang spesifik yang dibangun berdasarkan bahasa konseli yang berada di bawah kendalinya.



2.4.2                 TEORI PROSES KONSELING
Ø  Berfokus pada solution talk daripada problem talk.
Ø  Proses konseling diorientasikan bagi paningkatan kesadaran eksepsi terhadap pola masalah yang dialami dan pemilihan proses perubahan secara sadar.
Ø  Peningkatan kesadaran eksepsi terhadap pola masalahnya dapat menciptakan solusi.
Ø  Pemilihan proses perubahan dapat menentukan masa depan kehidupan konseli
Ø  Beberapa petunjuk pilihan yang memandirikan: (1) if it works, don’t fix it. Choose to do more of it, (2) if it works as a little, choose to build on it, (3) if nothing seems to be working, choose to experiment, including imagining miracles, dan (4) choose to approach each session as if it were the last. Change starts now, not next week.
2.4.3                 HUBUNGAN KONSELING
ü  Kolaborasi antara konselor dan konseli dalam membangun solusi bersama.
ü  Kolaborasi menekankan solusi masalah konseli dan teknik konseling yang digunakan konselor daripada hubungan konseling.
ü  Konselor sebagai ahli tentang proses dan struktur konseling yang membantu konseli membangun tujuannya menuju solusi yang berhasil.
ü  Konseli sebagai ahli mengenai tujuan yang ingin dibangun.
ü  Konselor aktif dalam memindahkan fokus secepat mungkin dari masalah pada solusi.
ü  Konselor mengarahkan konseli mengeksplorasi kelebihan dan membangun solusi.
ü  Konselor mendorong inisiatif konseli dan membantu melihat dan menggunakan tanggung jawabnya dengan lebih baik (Prochaska & Norcross, 2007)
2.4.4                 TEKNIK – TEKNIK KONSELING
1.      Exception-finding questions (Pertanyaan penemuan pengecualian): pertanyaan tentang saat-saat dimana konseli bebas dari masalah. Penemuan eksepsi membantu konseli memperjelas kondisi perubahan, memiliki kekuatan dan kemampuan menyelesiakan masalah, memberikan bukti nyata peneyelesaian dan membantu konseli menemukan kekuatan dirinya yang terlupakan. Misalnya, ”Kapan kamu dapat mengelola masalah ini dengan saksama?’ ”Kapan kamu berbuat yang berbeda dari yang sekarang?” ”Coba kemukakan kepada saya saat-saat kamu bebas dari masalah!”
2.      Miracle questions (Pertanyaan keajaiban): pertanyaan yang mengarahkan konseli berimajinasi apa yang akan terjadi jika suatu masalah yang dialami secara ajaib terselesaikan. Teknik ini membantu memperjelas tujuan dan menyoroti eksespsi masalah dengan merangsang konseli untuk mengimajinasikan suatu solusi dan memberantas hambatan dalam penyelesaian masalah serta membangun harapan terhadap terjadinya perubahan. Misalnya, konseli ditanya,”Bayangkan pada suatu malam, ketika kamu sedang tidur, terjadi suatu keajaiban dan semua masalahmu terselesaikan. Bagaimana kamu tahu bahwa masalahmu terpecahkan? Apa yang kamu lakukan saat itu yang menujukkan bahwa masalahmu terselesaikan dengan tuntas?
3.      Scaling questions (Pertanyaan berskala): pertanyaan yang meminta konseli membuat yang abstrak menjadi konkret, yang samar menjadi jelas dengan mengangkakan kekuatan, masalah, keadaan, atau perubahan konseli. Misalnya pernyataan konselor, ”Pada suatu skala dengan rentang 1 sampai 10, dimana 1 berarti kamu tidak memiliki kendali sama sekali terhadap masalahmu dan 10 berarti kamu memiliki kendali penuh terhadap masalahmu, lalu pada rentang angka yang mana kamu menempatkan dirimu dalam skala tersebut? dan ”Apa yang kamu perlukan agar kamu dapat naik satu angka dalam skala tersebut?”
4.      Compliments (Penghargaan/Pujian): pesan tertulis yang dirancang untuk memberikan penghargaan dan pujian atas kelebihan, kemajuan, dan karakteristik positif bagi pencapaian tujuan konseli. Teknik ini digunakan sebelum konseli diberi tugas menjelang akhir pertemuan konseling.
5.      Presession change question (Pertanyaan perubahan prapertemuan) ialah pertanyaan yang dimaksudkan untuk menemukan eksepsi atau mengeksplorasi solusi yang diupayakan konseli. Tujuannya ialah menciptakan harapan terhadap perubahan, menekankan peran aktif dan tanggung jawab konseli dan menunjukkan bahwa perubahan terjadi di luar ruang konseling. Misalnya, konselor bertanya, ”Sejak pertemuan yang lalu, apakah kamu melihat adanya perubahan pada dirimu?” atau ” Sejak pertemuan yang lau apakah kamu menemukan cara baru dalam melihat masalah yang kamu alami?” atau ”Sejak percakapan kita yang lalu di telepon, apa perubahan yang kamu alami sejauh ini?”
6.      Formula first session task (Formula tugas pertemuan pertama): Format tugas rumah yang diberikan konselor kepada konseli untuk dikerjakan antara pertemuan pertama dan pertemuan kedua. Misalnya, Konelor mengatakan,”Antara sekarang dan pertemuan yang akan datang, saya harap kamu dapat mengamati apa yang terjadi pada hubunganmu dengan teman-teman sekelasmu yang kamu ingin terus pelihara sehingga kamu dapat menjelaskannya kepada saya pada pertemuan yang akan datang.” Pada awal pertemuan konseling kedua, konselor menanyakan apa yang telah diamati konseli sekaligus menanyakan apa yang ingin terus dipelihara dalam hubungan dengan teman-teman sekalasnya.
2.4.5                 TAHAP – TAHAP KONSELING
A.    Pembinaan Hubungan (Establishing relationship)
1.      Pembinaan hubungan diperlukan untuk menjalin hubungan baik dan kolaboratif antara konselor dan konseli bagi pencapaian perubahan yang diharapkan.
2.      Dalam pembinaan hubngan baik tersebut, konselor menunjukkan perhatian penerimaan, penghargaan, dan pemahaman terhadap konseli sebagai individu yang khas.
3.      Salah satu cara untuk segera berinteraksi pada awal pertemuan konseling ialah melakukan percakapan topik netral yang dapat membangun kesadaran konseli atas kelebihan dan sumber-sumber dirinya bagi pengembangan solusi masalah yang dihadapinya.
4.      Perubahan merupakan proses interaksi karena itu hubungan kolaboratif konselor dan konseli sangat penting. Melalui kolaborasi tersebut konselor dapat memhami dunia konseli sehingga dapat bersama-sama mengkonstruksi masalah yang dapat diselesaikan sedari awal hubungan konseling.

B.     Identifikasi Masalah Yang Dapat Dipecahkan (Identifying a solvable complaint)
1.      Identifikasi masalah merupakan salah satu langkah yang sangat esesnsial dalam konseling karena dapat memfasilitasi pengembangan tujuan dan intervensi serta meningkatkan perubahan.
2.      Konselor dan konseli mengkonstruksi citra masalah yang menempatkan solusinya dalam kendali konseli. Misalnya, konstruksi masalah klien berkaitan dengan “Menjadikan teman sebangku menghentikan penghinaannya.” Konstruksi ini berada di luar kendali konseli dan sulit diubah dengan segara. Namun konstruksi masalah “Saya akan tenang dan membela diri saat teman sebangku menghina saya.” berada dalam kendali konseli.
3.      Konselor menggunakan pertanyaan sedemikan rupa sehingga mengkomunikasikan optimisme dan harapan untuk berubah dan memberdayakan bagi konseli. Masalah yang dialami konseli sebagai sesuatu yang normal dan dapat diubah. Misalnya, konselor bertanya kepada konseli ”Setelah kita berbincang tentang hobimu, “Apa yang membuatmu menjumpai Bapak/Ibu di ruang konseling ini?” daripada ”Masalah apa yang mengagangumu?” atau konselor bertanya ”Apa yang akan kamu selesaikan/ubah?” daripada pertanyaan ”Apa yang dapat saya bantu bagimu?”
4.      Konselor menggunakan teknik accepatance, summarization, klarifikasi, pertanyaan terbuka, dan teknik-teknik dasar komunikasi konseling yang lain untuk memahami kondisi konseli secara jelas dan spesifik. Misalnya, konselor bertanya, ”Bagaimana kamu dapat membuat dirimu sedih seperti sekarang ini?” dan ”Bagaimana cara belajarmu sehingga kamu mendapatkan nilai-nilai pelajaran yang kurang memuaskanmu?”
5.      Konselor SFBC acapkali menggunakan scaling questions untuk menetapkan data dasar kondisi konseli dan memfasilitasi identifikasi kemungkinan-kemungkinan dan kemajuan konseli dalam konseling.

C.     Penetepan Tujuan (Establishing goals)
1.      Konselor dan konseli berkolaborasi menentukan tujuan yang spesifik, dapat diamati terukur, dan konkret.
2.      Tujuan pada dasarnya dapat berbentuk salah satu dari bentuk tujuan berkut (a) mengubah apa yang dilakukan dalam situasi problematik, (b) mengubah pandangan atau kerangka pikir tentang situasi masalah yang dihadapi, dan (c) mengases sumber-sumber, solusi, dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki konseli.
3.      Pertanyaan yang menyiratkan kesuksesan sangat penting seperti dalam penetapan tujuan konseling. Misalnya “Apa yang akan menjadi penanda pertama bahwa kamu telah berubah?” “Bagaimana cara kamu tahu bahwa konseling bermanfaat bagimu?” “Bagaimana kamu dapat menceritakan bahwa kamu telah berubah?”
4.      Pembahasan rinci tentang perubahan positif dapat mendorong untuk memperoleh pandangan yang jelas tentang solusi yang tepat bagi konseli.
5.      Konselor SFBC sering menggunakan miracle questions untuk menetapkan tujuan konseling.  Pertanyaan-pertanyaan yang menyertai miracle questions memungkinkan konseli berimajinasi bahwa masalahnya terpecahkan, menimbulkan harapan, memfasilitasi pembahasan bagaimana cara agar keajaiban tersebut terjadi dalam kenyataan. Respons individu terhadap miracle questions biasanya memberikan masukan bagi konselor dengan berbagai solusi yang dapat digunakan untuk membantu konseli menyelesaikan masalahnya.

D.    Merancang dan Melaksanakan Intervensi (Designing and implementing intervention)
1.      Intervensi dirancang untuk menghambat pola-pola perilaku bermasalah dengan menunjukkan alternatif cara mereaksi masalah tersebut.
2.      Konselor memadukan pemahaman dan kreativitasnya dalam menggunakan strategi konseling untuk mendorong terjadinya perubahan meskipun sedikit.
3.      Pertanyaan yang sering digunakan selama tahap ini adalah “Perubahan apa yang telah terjadi? “Apa yang telah berhasil di masa lalu ketika kamu menyelesaikan masalah yang mirip dengan masalah ini? “Bagaimana kamu membuat hal tersebut menjadi kenyataan?” “Apa yang ingin kamu lakukan agar hal tersebut terjadi lagi?”
4.      Alternatif intervensi yang telah dirancang melalui pertanyaan-pertanyataan tersebut kemudian dilaksanakan dalam kehidupan keseharian konseli sebagai bagian hidup mereka.
5.      Konseli diberi kesempatan mengaplikasikan alternative intervensi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi antarsesi pertemuan konseling. Penyesuaian dilakukan jika diperlukan pada setiap awal permulaan sesi konseling untuk memastikan bahwa konseli dapat secara efektif membuat kemajuan terhadap perubahan posisitif yang diharapkan.

E.     Terminasi, Evaluasi, dan Tindak Lanjut
1.      Konselor menggunakan teknik scaling questions untuk mengetahui perubahan konseli dibandingkan dengan perubahan awal konseling.
2.      Setelah masalah konseli terselesaikan dengan memuaskan maka mereka dapat mengakhiri konseling.
3.      Konselor mendorong konseli untuk menjadi konselor bagi dirinya sendiri dan mengaplikasikan keterampilan pemecahan masalahnya terhadap masalah-masalah yang baru yang dihadapinya. Konselor melakukan tindak lanjut pelayanan konseling dengan mengikuti perkembangan perubahan konseli.
2.5   Batasan dan Kritik Terhadap Pendekatan Postmodern
            Sebuah kekhawatiran mengenai kedua solusi yang; terapi berfokus pada solusi dan terapi narasi singkat berkenaan dengan cara di mana beberapa ahli mungkin memuliakan sebuah teknologi dan membuat tujuan sendiri. SFBT atau terapi naratif tidak memiliki seperangkat formula atau panduan yang jelas.
            Bahwa terapi narasi akan bervariasi dengan setiap klien, karena setiap orang adalah unik. Dalam waktu yang relatif singkat praktistioners harus dapat membuat penilaian, membantu klien dalam merumuskan tujuan specific, dan secara efektif menggunakan intervensi yang tepat.

2.6   ILUSTRASI KASUS
Saat andi memiliki sebuah masalah yang dia tidak begitu mengerti apa sebenarnya masalah yang sedang mengganggu pikirannya karena terlalu banyak masalah yang sedang di hadapinya. Andi mangalami kebingungan sehingga dia datang kepada konselor untuk membantunya dalam menyelesaikan masalah apa yang sebenarnya dialami Andi. Konselor memberikan deretan angka mulai dari nol sampai sepuluh. Andi diberikan kesempatan untuk menilai pada skala nol sampai sepuluh, dimana nol adalah masalah yang sangat membebani dirimu dan sepuluh adalah tidak ada lagi masalah yang membebani dirimu, bagaimana Andi memberikan penilaian terhadap apa yang Andi alami saat ini? (scalling question)


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam teori konstruksionis sosial terapis-sebagai-ahli digantikan oleh klien-sebagai-ahli. Walaupun klien dipandang sebagai ahli pada kehidupan mereka sendiri, mereka sering terjebak dalam pola-pola yang tidak bekerja dengan baik bagi mereka.
Kedua solusi-terfokus dan narasi terapis masuk ke dalam dialog adalah upaya untuk memperoleh perspektif, sumber daya, dan pengalaman unik dari klien mereka. Upaya terapeutik adalah hubungan yang sangat kolaboratif di mana klien adalah partner senior. Kualitas hubungan terapeutik berada di jantung efektivitas dan narasi terapi yang baik dari SFBT. Banyak terapis memberikan perhatian meningkat untuk menciptakan hubungan collaborative dengan klien.
Bagi terapis yang tidak mengetahui posisi dirinya, memungkinkan terapis untuk mengikuti, menegaskan, dan dibimbing oleh cerita-cerita klien mereka, menciptakan pengamat dan peran fasilitator sebagai terapis dan terintegrasi dengan perspektif penyelidikan postmodern. Kedua solusi yang berfokus pada terapi dan narasi terapi singkat didasarkan pada asumsi optimis bahwa orang-orang yang sehat, berkompeten, berakal, dan memiliki kemampuan untuk membangun alternatif solusi dan cerita-cerita yang dapat meningkatkan kehidupan mereka. Dalam proses terapeutik SFBT menyediakan konteks di mana individu berfokus pada solusi yang diciptakan, bukan berbicara tentang masalah-masalah mereka.
Teknik umum termasuk penggunaan keajaiban pertanyaan, ekpektasi pertanyaan; dan skala pertanyaan. Dalam terapi narasi proses terapeutik menyediakan konteks sosiokultural di mana klien dibantu dalam menemukan sumber masalah mereka dan dapat kesempatan untuk menyempaikan cerita baru.
Praktisi dengan solusi-orientasi terfokus atau narasi cenderung mengarah menciptakan situasi: Di mana mereka dapat membuat keuntungan yang jelas kepada tujuan mereka


DAFTAR PUSTAKA